Laman

Selasa, 13 Mei 2014

Filologi Bahasa dan Sastra Indonesia


ADAT RAJA-RAJA MELAYU:
LATAR SEJARAH DAN PENYUSUNAN SILSILAH NASKAH
1.      Pendahuluan
Penelitian para sarjana yang mempelajari sejarah, masyarakat, dan kebudayaan Melayu. Adapun naskah Adat Raja-Raja Melayu berisi catatan yang dibuat pada abad ke-18 tentang upacara-upacara tradisional yang dahulu berlaku di istana kesultanan melayu. Dengan mempelajarinya, bertambah pengetahuan kita tentang adat-istiadat masyarakat Melayu dan tentang aspek magico-religius yang terdapat pada sultan. Kedudukan sultan sebagai tokoh sentral yang utama. Disemanjung Melayu terdapat sembilan kesultanan, yaitu Perak, Kedah, Perlis, Terlangu, Kelantan, Pahang, Johor, Negeri Sembilan, dan Selangor, masing-masing dengan corak khasnya. Yang mana malaka adalah kesltanan Melayu yang pertama di semenanjung itu.
2.      Sumber Rujukan untuk Mempelajari Adat-Istiadat Istana Kesultanan Melayu
Sultan Iskandar Syah (1390-1413/1414 M) adalah pendiri malaka dialah yang melembagakan duduknya empat orang menteri di balai penghadapan untuk melayani rakyat yang datang berkonsultasi. Meninggalnya Iskandar Syah digantikan oleh putranya, bergelar Sultan Megat (1414-1444 M). Konon sultan inilah sultan malaka pertama yang beragama islam, dan yang pertama kali menetapkan peraturan larangan dan kewajiban serta tata tertib orang kebanyakan jika menghadap ke istana. Meninggalnya Sultan Megat digantikan pula dengan putranya, Raja Tengah, yang setelah meninggal diganti pula dengan putranya Raja Kecil Besar. Dialah yang menetapkan adat upacara istana Malaka dan menentukan hak-hak istimewa bagi kaum bangsawan. Sumber rujukan bagi adat-istiadat Melayu di Aceh adalah De Hikajat Atjeh (Iskandar, 1958). Dengan panjang lebar dikisahkan upacara pertunangan dan upacara pernikahan Sultan Mansur Syah dengan Putri  Raja Indera Bangsa, serta adat upacara di sekitar kelahiran putranya.
3.      Nilai Sosiologis Adat Raja-Raja Melayu
Adat Upacara Raja-Raja Melayu adalah teks tuntutan yang ditulis atas permintaan Gubernur  Malaka pada tahun 1779 M yaitu rekaman istiadat yang pada umumnya berlaku di istana Melayu. Di dalam masyarakat  zaman dulu tidak ada kebutuhan untuk merekam tata upacara karena para ahli adat sudah amat hafal dengan seluk-beluknya sehingga tidak perlu memerlukan buku catatan.
4.      Asal Mula Tersusunnya
“Bagaimana adat raja-raja dan orang besar zaman dulu kala dan zaman sekarang ini. Adat Raja-raja Melayu disusun pada tahun 1193 H atau 1779 M atas perintah De Bruyn ketika menjabat Gubernur Malaka (1777-1785 M).  Orang melayu pada umumnya menganggap masa kesultanan malaka sebagai zaman yang keemasan sejarahnya pada masa itu kepahlawanan di dalam tradisi kesejarahan kesultanan-kesultanan berikutnya di semenanjung Melayu (Gullick, 1958: 7).


5.      Kedudukan Malaka di Dalam Sejarah
Hubungan pahang, Kelantan, dan Johor dengan malaka adalah sebagai berikut: Kira-kira pada pertengahan abad ke-15 M Pahang dikalahkan oleh pasukan Makalah uyang menyerang Pahang di bawah komodo Bendahara Paduka Raja Tun Perak. Darah malaka kemudian juga mengalir dalam keluarga kesultanan kelantan karena pernikahan Sultan Mahmmud Syah ini dengan Puteri Mengindera dari Kelantan. Salah seorang nanak Sultan Mahmud Syah-sultan Malaka terakhir meninggal di Kampar pada tahun 1529 M mendirikan pemukiman baru ditepi sungai Johor, dan menobatkan diri menjadi Sultan Johor dengan gelar Sultan Alauddin Riayat Syah. Dengan demikian, Jelaslah hubungan darah di antara Johor dan Malaka.
6.      Penggarapan Adat Raja-Raja Melayu Oleh Peminat Terdahulu
Adat Raja-Raja Melayu telah menarik perhatian para peminat bahasa dan sastra Melayu sejak akhir abad ke-19 M. Van Ronkel (1929), menerbikan teks yang salah satu varian dengan menggunalan dua varian lainya sebagai bahan pembanding. Winstedt (1940) membicarakan gelar-gelar yang tercantum di dalam apendiks naskah yang digunakan oleh van ronkel. Sedangkan Blagden (1928) memberikan komentar mengenai daftar kata-kata langka yang terdapat sebagai apendiks naskah varian lain.
7.      Kandungan Isi
Dalam proses penyalinan teks naskah ini, penyalin menambahkan dan menghilangkan kata atau frasa karena ketidaksengajaan, pada beberapa varian terdapat pasal-pasal yang ditambahkan; pada kedua pasal nasakah varian akan ditambahkan menjelaskan makna yang langka.
Secara umum teks terbagi atas:
a.       Eksordium
b.      Rekaman adat upacara
c.       Kolofon
d.      Pasal-pasal tambahan
e.       Penutup
8.      Deskripsi Naskah
Tiap-tiap naskah dicatat ciri-cirinya, seperti asalnya, tercatat di dalam katalog nama dengan judul apa, diperoleh di dalam bentuk apa, jumlah halaman dan jumlah baris halaman, keadaan kertas dan tulisan/tintanya, bagian isinya; pendek kata, semua ciri yang mungkin dapat menjadi petunjuk khas tentang nsakah yang bersangkutan.
9.      Judul Naskah
Naskah-naskah C, D, E, dan G Berjudul “Adat Segala Raja-Raja Melayu” saja. Naskah F berjudul “Ini Surat Cerita Tatkalah Bini Raja-Raja Hamil”, diikuti dengan penjelasan di dalam bahasa inggris: “History of Malayan Kings; Accounts of Observances during the Pregnancy of Wives of Chiefs and the Birth of Their Children”. Namun isinya lebih luas daripada yang tertara pada kedua judul yang lain.
10.  Usaha Penyusunan Silsilah Naskah
Kerajaan Melayu adalah kapitan Melayu Datuk Zainuddin. Orang melayu dia tidak akan menyebut dirinya Datuk Zainuddin, melainkan akan menggunakan sebutan sederhana al-fakir al-hakir atau “sahaya” saja. Naskah induk ini tidak sampai pada kita. Naskah F merupakan salinana yang dipesan oleh Mayor William Farquhar krtika menjabat Resident Inggris dan Komandan di Malaka. Perbandingan diantara  naska I dan F menampakkan banyak kesamaan bahassa dan ejaan sehingga timbul dugaan bahwa kedua-duanya merupakan salinan naskah induk yang sama, atau naskah yang stu deisalin dari yang lain. Salinan yang dipesan atau diperintahkan pembuatannya pada umumnya merupakan salinan yang cermat dan setia pada induknya.
            Perbandingan teks ketiga naskah ini dengan teks varian lainnya menunjukan bahwa hubungan di antara B, D dan E sangat erat. Beberapa kasus membuktikan ahwa B dengan E khususnya sangat dekat; bahkan membuktikan B dengan E identik. Seorang yang tidak disebut namanya menyalin naskah ini. Di dalam salinan eksordiumnya ia mengganti acuan “sahaya” dengan sebutan eksplisit “Kapitan Melayu Datuk Zainuddin” sebagai pengakuan siapa penyusun naskah induknya. Orang lain lagi menyalin naskah S, tetapi melepaskan eksordiumnya karena ia hanya berminat terhadap adat upacara istananya. Ada seseorang yang menyalin naskah S, dan menjelaskan dalam eksordium bahwa “sahaya” mengacu kepada seseorang yang bernama Datuk Kapitan Mahbub. Ia menambahkan pula sebuah glosari data langka pada teks itu.
11.  Penutup
Sedikit seklai naskah melayu yang dapat di telusuri silsilahnya terutama karena penyusunan atau penyalinannya tidak dicantumkan dengan lengkap. Kalaupun berhasil disusun stemanya, pada umumnya yang sampai pada kita bukan naskah induknya, melainkan hanyalah salinan-salinannya.

BAB V
MASALAH TRANSLITASI

1.      Pendahuluan
Hampir setiap tulisan yang bersifat filologis nasakah lama merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Oleh sebab itu upaya dalam melestarikan kandungan teksnya ini lazim dilakukan oleh para ahli filologi.
2.      Istilah “Filologi”
Filologi berasal dari kata Yunani philos ‘cinta’ dan logos ‘kata’ dengan pengkajian tentang isi serta makna teks dalam suatu naskah. Hasil pengkajian itu dapat dimanfaatkan untuk penelitian lanjutan di berbagai bidang seperti sastra, antropologi, sosiologi, sejarah dan agama.
3.      Filologi dan Linguistik
Proses kaji mengkaji naskah itu timbul kesadaran bagi pentingnya pengkajian yang mendalam terhadap bahasa yang menjadi mediumnya. Sesungguhnya linguistik dan Filologi berkaitan erat. Filologi dapat menjadi ilmu pembantu dalam pengkajian linguistik dan sebaliknya dapat juga terjadi bahwa cabang linguistik seperti etimologi, sosiolinguistik, dan stilitika dimanfaatkan dalam  pengkajian pilologis. Kajian filologi dapat mengungkapkan corak dan bentuk dalam bahasa yang digunakan pada suatu masa. Teks yang digunakan oleh ahli filologi juga dapat dimanfaatkan oleh ahli linguistik untuk menyusun deskripsi bahasanya.
4.      Transliterasi
Sebuah teks lama dibuat transliterasinya karena aksara yang digunakan dalam teks pun sudah semakin asing bagi kebanyakan orang. Di dalam penyalinannya digunakan aksara yang digunakan transliterasi juga dilengkapi dengan pungtuasi dan huruf kapital dalam memudahkan pemahamannya.
5.      Transliterasi Teks Beraksara Arab-Melayu
Kegiatan mentranslitasi teks naskah di Indonesia sangat pesat sekitar tahun 1975-1985 sebagai satu kegiatan Proyek Penerbitan Buku  (Bacaan dan) Sastra Indonesia dan Daerah. Penulisan kata-kata disesuaikan dengan dengan pedoman ejaan bahasa Indonesia yang berlaku karena tujuannya adalah mengadakan bahan bacaan, kebanyakan translitasi tersebut tidak di sertai aparat oleh karena  yang diutamakan  adalah isi dan pesan terlepas dari tujuan proyek penerbitan jika ditinjau dari sudut linguistik, metode translitasi dan edisi yang demikian kurang menguntungkan.
Beberapa contoh penulisan kata yang seyogianya dipertahankan di dalam transliterasi (Isnamurti, 1981:11-13; Sudjiman, 1983:42-50):
a)      Frekuensi penggunaan huruf saksi (                      )
b)      Kehadiran-h pada
Hayam, histana, alih-alih ‘ayam’, istana
c)      Ketiadaan-h pada
Tenga, zuada alih-alih ‘tengah’, ‘zuadah’
d)     Kerangkapan konsonan yang menikuti bunyi e pepet pada
Berrupa, berrindu alih-alih ‘berupa’, ‘berindu’
e)      Kehadiran kombinasi konsonan n-ny yang mengikuti bunyi e pepet pada
Tersenyum, sennyur alih-alih ‘tersenyum’, ‘senyur’
Beberapa diantaranya merupakan variasi dialektis yang menunjukan daerah asal penyalin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar