ADAT
RAJA-RAJA MELAYU:
LATAR
SEJARAH DAN PENYUSUNAN SILSILAH NASKAH
1.
Pendahuluan
Penelitian para sarjana yang mempelajari sejarah,
masyarakat, dan kebudayaan Melayu. Adapun naskah Adat Raja-Raja Melayu berisi
catatan yang dibuat pada abad ke-18 tentang upacara-upacara tradisional yang
dahulu berlaku di istana kesultanan melayu. Dengan mempelajarinya, bertambah
pengetahuan kita tentang adat-istiadat masyarakat Melayu dan tentang aspek
magico-religius yang terdapat pada sultan. Kedudukan sultan sebagai tokoh
sentral yang utama. Disemanjung Melayu terdapat sembilan kesultanan, yaitu
Perak, Kedah, Perlis, Terlangu, Kelantan, Pahang, Johor, Negeri Sembilan, dan
Selangor, masing-masing dengan corak khasnya. Yang mana malaka adalah kesltanan
Melayu yang pertama di semenanjung itu.
2.
Sumber
Rujukan untuk Mempelajari Adat-Istiadat Istana Kesultanan Melayu
Sultan Iskandar Syah (1390-1413/1414 M) adalah
pendiri malaka dialah yang melembagakan duduknya empat orang menteri di balai
penghadapan untuk melayani rakyat yang datang berkonsultasi. Meninggalnya
Iskandar Syah digantikan oleh putranya, bergelar Sultan Megat (1414-1444 M).
Konon sultan inilah sultan malaka pertama yang beragama islam, dan yang pertama
kali menetapkan peraturan larangan dan kewajiban serta tata tertib orang
kebanyakan jika menghadap ke istana. Meninggalnya Sultan Megat digantikan pula
dengan putranya, Raja Tengah, yang setelah meninggal diganti pula dengan
putranya Raja Kecil Besar. Dialah yang menetapkan adat upacara istana Malaka
dan menentukan hak-hak istimewa bagi kaum bangsawan. Sumber rujukan bagi
adat-istiadat Melayu di Aceh adalah De Hikajat Atjeh (Iskandar, 1958). Dengan
panjang lebar dikisahkan upacara pertunangan dan upacara pernikahan Sultan
Mansur Syah dengan Putri Raja Indera Bangsa,
serta adat upacara di sekitar kelahiran putranya.
3.
Nilai
Sosiologis Adat Raja-Raja Melayu
Adat Upacara Raja-Raja Melayu adalah teks tuntutan
yang ditulis atas permintaan Gubernur
Malaka pada tahun 1779 M yaitu rekaman istiadat yang pada umumnya berlaku
di istana Melayu. Di dalam masyarakat
zaman dulu tidak ada kebutuhan untuk merekam tata upacara karena para
ahli adat sudah amat hafal dengan seluk-beluknya sehingga tidak perlu
memerlukan buku catatan.
4.
Asal
Mula Tersusunnya
“Bagaimana adat raja-raja dan orang besar zaman dulu
kala dan zaman sekarang ini. Adat Raja-raja Melayu disusun pada tahun 1193 H
atau 1779 M atas perintah De Bruyn ketika menjabat Gubernur Malaka (1777-1785
M). Orang melayu pada umumnya menganggap
masa kesultanan malaka sebagai zaman yang keemasan sejarahnya pada masa itu
kepahlawanan di dalam tradisi kesejarahan kesultanan-kesultanan berikutnya di
semenanjung Melayu (Gullick, 1958: 7).
5.
Kedudukan
Malaka di Dalam Sejarah
Hubungan pahang, Kelantan, dan Johor dengan malaka
adalah sebagai berikut: Kira-kira pada pertengahan abad ke-15 M Pahang
dikalahkan oleh pasukan Makalah uyang menyerang Pahang di bawah komodo
Bendahara Paduka Raja Tun Perak. Darah malaka kemudian juga mengalir dalam
keluarga kesultanan kelantan karena pernikahan Sultan Mahmmud Syah ini dengan
Puteri Mengindera dari Kelantan. Salah seorang nanak Sultan Mahmud Syah-sultan
Malaka terakhir meninggal di Kampar pada tahun 1529 M mendirikan pemukiman baru
ditepi sungai Johor, dan menobatkan diri menjadi Sultan Johor dengan gelar
Sultan Alauddin Riayat Syah. Dengan demikian, Jelaslah hubungan darah di antara
Johor dan Malaka.
6.
Penggarapan
Adat Raja-Raja Melayu Oleh Peminat Terdahulu
Adat Raja-Raja Melayu telah menarik perhatian para
peminat bahasa dan sastra Melayu sejak akhir abad ke-19 M. Van Ronkel (1929),
menerbikan teks yang salah satu varian dengan menggunalan dua varian lainya
sebagai bahan pembanding. Winstedt (1940) membicarakan gelar-gelar yang
tercantum di dalam apendiks naskah yang digunakan oleh van ronkel. Sedangkan
Blagden (1928) memberikan komentar mengenai daftar kata-kata langka yang
terdapat sebagai apendiks naskah varian lain.
7.
Kandungan
Isi
Dalam proses penyalinan teks naskah ini, penyalin
menambahkan dan menghilangkan kata atau frasa karena ketidaksengajaan, pada
beberapa varian terdapat pasal-pasal yang ditambahkan; pada kedua pasal nasakah
varian akan ditambahkan menjelaskan makna yang langka.
Secara
umum teks terbagi atas:
a. Eksordium
b. Rekaman
adat upacara
c. Kolofon
d. Pasal-pasal
tambahan
e. Penutup
8.
Deskripsi
Naskah
Tiap-tiap naskah dicatat ciri-cirinya, seperti
asalnya, tercatat di dalam katalog nama dengan judul apa, diperoleh di dalam
bentuk apa, jumlah halaman dan jumlah baris halaman, keadaan kertas dan
tulisan/tintanya, bagian isinya; pendek kata, semua ciri yang mungkin dapat
menjadi petunjuk khas tentang nsakah yang bersangkutan.
9.
Judul
Naskah
Naskah-naskah C, D, E, dan G Berjudul “Adat Segala
Raja-Raja Melayu” saja. Naskah F berjudul “Ini Surat Cerita Tatkalah Bini
Raja-Raja Hamil”, diikuti dengan penjelasan di dalam bahasa inggris: “History
of Malayan Kings; Accounts of Observances during the Pregnancy of Wives of
Chiefs and the Birth of Their Children”. Namun isinya lebih luas daripada yang
tertara pada kedua judul yang lain.
10. Usaha Penyusunan Silsilah Naskah
Kerajaan Melayu adalah kapitan Melayu Datuk
Zainuddin. Orang melayu dia tidak akan menyebut dirinya Datuk Zainuddin,
melainkan akan menggunakan sebutan sederhana al-fakir al-hakir atau “sahaya”
saja. Naskah induk ini tidak sampai pada kita. Naskah F merupakan salinana yang
dipesan oleh Mayor William Farquhar krtika menjabat Resident Inggris dan
Komandan di Malaka. Perbandingan diantara
naska I dan F menampakkan banyak kesamaan bahassa dan ejaan sehingga
timbul dugaan bahwa kedua-duanya merupakan salinan naskah induk yang sama, atau
naskah yang stu deisalin dari yang lain. Salinan yang dipesan atau
diperintahkan pembuatannya pada umumnya merupakan salinan yang cermat dan setia
pada induknya.
Perbandingan teks ketiga naskah ini
dengan teks varian lainnya menunjukan bahwa hubungan di antara B, D dan E
sangat erat. Beberapa kasus membuktikan ahwa B dengan E khususnya sangat dekat;
bahkan membuktikan B dengan E identik. Seorang yang tidak disebut namanya
menyalin naskah ini. Di dalam salinan eksordiumnya ia mengganti acuan “sahaya”
dengan sebutan eksplisit “Kapitan Melayu Datuk Zainuddin” sebagai pengakuan
siapa penyusun naskah induknya. Orang lain lagi menyalin naskah S, tetapi
melepaskan eksordiumnya karena ia hanya berminat terhadap adat upacara istananya.
Ada seseorang yang menyalin naskah S, dan menjelaskan dalam eksordium bahwa
“sahaya” mengacu kepada seseorang yang bernama Datuk Kapitan Mahbub. Ia
menambahkan pula sebuah glosari data langka pada teks itu.
11. Penutup
Sedikit
seklai naskah melayu yang dapat di telusuri silsilahnya terutama karena
penyusunan atau penyalinannya tidak dicantumkan dengan lengkap. Kalaupun berhasil
disusun stemanya, pada umumnya yang sampai pada kita bukan naskah induknya,
melainkan hanyalah salinan-salinannya.
BAB
V
MASALAH
TRANSLITASI
1.
Pendahuluan
Hampir
setiap tulisan yang bersifat filologis nasakah lama merupakan warisan budaya
yang tidak ternilai harganya. Oleh sebab itu upaya dalam melestarikan kandungan
teksnya ini lazim dilakukan oleh para ahli filologi.
2.
Istilah
“Filologi”
Filologi
berasal dari kata Yunani philos ‘cinta’ dan logos ‘kata’ dengan pengkajian
tentang isi serta makna teks dalam suatu naskah. Hasil pengkajian itu dapat
dimanfaatkan untuk penelitian lanjutan di berbagai bidang seperti sastra,
antropologi, sosiologi, sejarah dan agama.
3.
Filologi
dan Linguistik
Proses
kaji mengkaji naskah itu timbul kesadaran bagi pentingnya pengkajian yang
mendalam terhadap bahasa yang menjadi mediumnya. Sesungguhnya linguistik dan
Filologi berkaitan erat. Filologi dapat menjadi ilmu pembantu dalam pengkajian
linguistik dan sebaliknya dapat juga terjadi bahwa cabang linguistik seperti
etimologi, sosiolinguistik, dan stilitika dimanfaatkan dalam pengkajian pilologis. Kajian filologi dapat
mengungkapkan corak dan bentuk dalam bahasa yang digunakan pada suatu masa.
Teks yang digunakan oleh ahli filologi juga dapat dimanfaatkan oleh ahli
linguistik untuk menyusun deskripsi bahasanya.
4.
Transliterasi
Sebuah
teks lama dibuat transliterasinya karena aksara yang digunakan dalam teks pun
sudah semakin asing bagi kebanyakan orang. Di dalam penyalinannya digunakan
aksara yang digunakan transliterasi juga dilengkapi dengan pungtuasi dan huruf
kapital dalam memudahkan pemahamannya.
5.
Transliterasi
Teks Beraksara Arab-Melayu
Kegiatan
mentranslitasi teks naskah di Indonesia sangat pesat sekitar tahun 1975-1985
sebagai satu kegiatan Proyek Penerbitan Buku
(Bacaan dan) Sastra Indonesia dan Daerah. Penulisan kata-kata
disesuaikan dengan dengan pedoman ejaan bahasa Indonesia yang berlaku karena
tujuannya adalah mengadakan bahan bacaan, kebanyakan translitasi tersebut tidak
di sertai aparat oleh karena yang
diutamakan adalah isi dan pesan terlepas
dari tujuan proyek penerbitan jika ditinjau dari sudut linguistik, metode
translitasi dan edisi yang demikian kurang menguntungkan.
Beberapa contoh
penulisan kata yang seyogianya dipertahankan di dalam transliterasi (Isnamurti,
1981:11-13; Sudjiman, 1983:42-50):
a) Frekuensi
penggunaan huruf saksi ( )
b) Kehadiran-h
pada
Hayam, histana,
alih-alih ‘ayam’, istana
c) Ketiadaan-h
pada
Tenga, zuada alih-alih
‘tengah’, ‘zuadah’
d) Kerangkapan
konsonan yang menikuti bunyi e pepet pada
Berrupa, berrindu
alih-alih ‘berupa’, ‘berindu’
e) Kehadiran
kombinasi konsonan n-ny yang mengikuti bunyi e pepet pada
Tersenyum, sennyur
alih-alih ‘tersenyum’, ‘senyur’
Beberapa diantaranya merupakan
variasi dialektis yang menunjukan daerah asal penyalin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar